Dengan malas aku beringsut menuju dapur. Menjerang air hingga mendidih nantinya. Aku duduk sambil membayangkan apa yang akan aku tulis untuk feature nanti. Belum lagi aku mendapatkan ide, sebuah suara mengejutkan aku."Sayang, aku berangkat." Aku menyodorkan pipi, berharap ia mencium lebih dari sekedar pipi. Namun dengan ringan ia berkata,"Tak ada ciuman pagi ini, sayang."
Ini pagi kesekian, dan kami tetap berkutat dengan persoalan yang sama. Tentang siapa yang seharusnya menyiapkan kopi dan menggoreng telur mata sapi. Rachel tetap merasa seharusnya akulah yang menyiapkan itu semua, mengingat ia yang harus berangkat kerja terlebih dahulu. Sedang aku yang selalu berangkat lebih siang seharusnya mengerti tentang hal ini."Kemarin aku yang membuat kopi, dan sekarang aku lagi sayang?" tanyaku dengan kata sayang yang aku tekankan."Bukan masalah siapa yang membuat kemarin, atau kemarinnya lagi. Tetapi Arman, demi Tuhan aku harus ke kantor lebih pagi..""Karena klienku kakap kali ini," potongku cepat, karena aku tahu kelanjutan ucapannya."Nadamu sinis, sayang."Kali ini Rachel-lah yang memakai kata sayang dengan penekanan yang begitu kentara. Matanya yang serupa kucing, menatapku dengan garang. Gila, betapa perempuan ini dapat begitu cantik dalam keadaan marah sekalipun.Dengan sebal kulempar koran pagi ke meja makan. Tak kulihat ekspresi wajahnya."Aku sarapan di dekat kantor saja," ucapnya cepat seakan tak memperhatikan sikap kasarku. Dan aku tahu pagi ini tak ada ciuman seperti kemarin.
Malam-malamku adalah dua punggung yang tak saling menyapa. Heran, kami telah berhenti bercinta sepanjang dua minggu ini. Aku tak tahu kemana perginya hasratku. Dan aku tak habis pikir, ke mana gairahnya dengan tarian dan hem putihku yang sering ia gunakan untuk menggodaku. Kami sedingin malam bulan Januari yang menghujan. Tak ada api yang memerahkan ruangan ini hingga membakar seluruh kordennya. Kadang kami berdua terkikik membayangkan bahwa baru saja ada dua ekor naga yang menghembuskan nafas di ruang tidur kami. Begitu panas akan gairah yang baru saja tuntas. Aku hanya bisa melukis hasratku pada punggungnya yang tanpa cela –terkadang aku mencuri lihat ke arahnya-. Punggungnya bagai nyanyian musim semi, daun-daun yang tumbuh pada pucuk-pucuk pohon oak. Begitu dekat, namun bagai panggilan dari belahan dunia yang jauh. Seakan tak terjangkau. Dan punggung itu terus membisu hingga keesokan paginya.
Pagi hari, kami masih saling menyindir siapa yang seharusnya membuat kopi dan telur mata sapi. Hingga suatu hari, akulah yang harus pergi lebih awal. Dan kesempatan ini tak kulepas begitu saja. Sejak semalam aku telah menjelaskan aktivitasku esok paginya. Tentunya dengan penekanan bahwa akulah yang harus pergi lebih awal. Maka ketika aku melihat di meja makan tidak kudapati secangkir kopi, aku memulai percakapan."Kopinya mana sayang, aku buru-buru nih…" "Sebuah Karya Sastra pengisahan Perjuangan dari para perempuan perempuan Indonesia yg di temuinya... Perjuangan pekerjaan, tanggung Jawab, kesetiaan dalam keluarga hal keagungan wanita ada didalam buku ini." cerita selanjutnya....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar