Dion masih menatap langit, kekaguman tersisa pada bibirnya. Betapa rautnya hadiah langit yang dipersembahkan untukku. Matanya jendela yang tak pernah ia buka selebarnya, ada yang tersimpan. Kadang matanya membuat aku takut. Aku seperti membaca nada cela di matanya saat aku alpa. Aku ingin ia berbicara tentang diriku. Sebelum aku berbicara tentang rencanaku untuk bercerai dengan ibunya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku. Sebuah daun yang masih kehijauan dipegangnya penuh perasaan. Pada permukaannya yang lembut terdapat embun. Ia meneteskan embun itu pada punggung tapak tangannya. Kemudian ia mengambil daun yang lain. Sebuah daun tua yang kekuningan. Pada kasapnya juga terdapat butiran embun. Masih dengan sikap kehati-hatian ia memegangnya. Kemudian ditariknya jemariku, dan diteteskannya embun dari daun tua itu. Ia tersenyum. Begitu kanak.
Bibirku terkunci. Aku tak kuasa berbicara apa. Udara pagi menerpa wajah kami berdua. Langit masih agak gelap. Aku seperti diburu waktu untuk berbicara padanya sebelum pagi benar-benar datang. Ada yang mendesak hingga sesak dadaku. Aku mencengkram rumput yang iba memandang ketakberdayaanku. Haruskah aku berkata, Dion, ayahmu tak lagi mencintai ibumu. Dion, ayahmu tak lagi dapat terikat dalam lembaga pernikahan dengan ibumu. Dion, kau tak akan mengerti. Dion, maafkan ayah. Hingga, "Dion…ayah…" ucapku tercekat."Yah, bila ayah merasa itu yang paling baik, lakukanlah."
Ia berkata dengan mata tanpa kerjab. Dalam hitungan detik aku melihat sisi kanak-kanaknya menghilang berganti dengan kedewasaan, begitu pribadi yang lengkap. Wajahnya yang tabah adalah tamparan pertama, dan cara ia membacaku dengan tepat adalah tamparan kedua. Setelah berkata begitu, ia membuang muka. Tak ia biarkan aku membaca matanya kali ini. Pagi datang secara utuh. Namun aku merasa ada yang hilang, hingga sisi tubuhku tak lagi sempurna. Bagian yang diambil tanpa paksa, namun membuat sesak dada. Ada hal-hal yang kadang tak terlintas dalam pikiran kanak-kanak tentang dunia orang dewasa. Atau terlampau banyak tuntutan yang tak pernah terjangkau oleh alam pikiran kanak mereka? Begitu hidup mungkin sesungguhnya sederhana. Seperti pagi yang terlewat di atas kepala kami berdua. "Novel Sosialis ini, diangkat dari kesinggahan sebuah perjalanan seorg Pramugie di bbrapa Daerah Nusantara, di setiap penitiannya, meninggalkan kebaikan yg melekat di setiap situasi org yg disinggahinya. Idrus, sorg tamatan SD yg brhasil dipekerjakan di tpt ibu kos Pramugi di Madiun. Sebuah Surau di Purwokerto yg berhasil di didirikan bersama masyarakat skitarnya. Dan Lentera kebaikan lainya dikisahkan disini....serta kisah Dion" Cerita Selanjutnya....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar