Selasa, 12 Juli 2011
Selasa, 06 Mei 2008
Cuplikan Cerita " Di depan Singgasana Kecantikkan.."
Pada suatu hari, anak kelas tiga mengikuti pelajaran menggambar. Labetta menyuruh masing-masing muridnya untuk menggambarkan sebuah bendera negara apa saja yang mereka ingat. Telur —nama aslinya Bara Iko—menggambar bendera Malaysia karena dia pernah melihat bendera tersebut di baju bapaknya yang pernah merantau ke negara tersebut. Marecu Senna, anak yang dijuluki Gajah karena gendut dan kuat makan, menggambar bendera Amerika. Ada juga yang menggambar bendera yang hanya satu warna, yaitu warna hitam. Ketika salah satu temannya bertanya, “Bendera apa itu?” Dia hanya menjawab, “Tidak tahu, saya tidak pernah melihat bendera.” Ada yang berwarna kuning, ada yang seperti kain batik, ada yang hanya kotak-kotak, ada yang seperti bendera mayat. Banyak sekali macam bendera yang digambar oleh mereka.Setelah selesai, giliran Labetta memeriksa bendera-bendera tersebut. Semua anak gelisah. Mereka takut Labetta marah karena gambarnya jelek. Karena seperti biasa Labetta sering terinspirasi untuk memberi, menambah, atau mengganti julukan muridnya setelah memeriksa hasil pekerjaan mereka. Panjang, nama aslinya Itanre Ladde, mendapat penggantian nama julukan. “Panjang, namamu sekarang saya ganti dengan Pocong,” kata Labetta disambut dengan suara tawa oleh teman-teman Panjang. Panjang protes. Tetapi Labetta tidak peduli. Dalam kelas itu berlaku aturan, Patuhi guru, apa pun yang terjadi! Tetapi Panjang minta penjelasan kenapa namanya diganti menjadi Pocong. “Kamu saya panggil Pocong karena kamu menggambar bendera mayat bukan bendera negara. Mengerti?” Murid yang lain menertawai Pocong. Pocong hanya bisa pasrah. Dia sedih sekali. Dia memikirkan cara cari uang untuk mengganti papan namanya. Sebelum keluar dari kelas Labetta memanggil Isabbara ke kantor kepala sekolah dan memerintahkan kepada yang lainnya untuk tetap di tempat. Semua murid dalam kelas itu bertanya-tanya. Isabbara sangat takut.Isabbara, yang dijuluki Lemah Syahwat karena pernah tidak datang ke sekolah karena alat kelaminnya bengkak setelah disunat, mengikuti langkah Labetta ke kantor dengan perasaan tak menentu. Dia menangis. Dia sedih. Apa yang akan terjadi dengan dirinya. Sesampainya di ruang kepala sekolah, Labetta menempeleng Isabbara. Lalu Labetta membentur-benturkan keras-keras kepala Isabbara di meja. “Sekarang nama kamu saya ganti dengan ini,” sambil menuliskan sesuatu dengan spidol berwarna merah di dahi Isabbara. “Ayo, kita ke kelas lagi!”Sesampainya di kelas Labetta menyuruh Isabbara berdiri di depan kelas. “Sekarang nama Lemah Syahwat diganti dengan nama yang ada di jidatnya yang rata itu.” Murid yang lain tertawa. “Kalian semua tidak boleh lagi memanggilnya Lemah Syahwat,” sambung Labetta, “Dan ingat jangan coba-coba mendekati dia lagi. Dia sangat berbahaya.” Isabbara menangis tersedu-sedu. Dia belum tahu nama seperti apa sekarang yang ada di dahinya. Dia juga tidak tahu siapa yang ada di depannya yang tertawa itu. Dan siapa orang yang selalu berbicara di sampingnya itu. Benturan keras di kepalanya telah membuatnya lupa segala sesuatunya.Lalu Labetta menulis sesuatu di papan tulis. “Sekarang kau teriakkan kalimat ini seribu kali.” Labetta membentak Isabbara. Sambil menagis Isabbara membaca tulisan itu.Nama saya Teroris. Saya berjanji tidak akan menggambar bendera dengan bintang-bintang dan bulan sabit lagi! "Sebuah kisah novel, ttg gimana penghargaan kepada seorang wanita, keagungannya dari mahkota kesombongan seorg wanita. Buku ini terinspirasi dari beberapa interaksi seorg I. Pramugie dgn wanita2 yg pernah di temuinya, baik sbg sahabat atau wanita terdekatnya." cerita selanjutnya...
Cuplikan Cerita "Percakapan Embun"
Dion masih menatap langit, kekaguman tersisa pada bibirnya. Betapa rautnya hadiah langit yang dipersembahkan untukku. Matanya jendela yang tak pernah ia buka selebarnya, ada yang tersimpan. Kadang matanya membuat aku takut. Aku seperti membaca nada cela di matanya saat aku alpa. Aku ingin ia berbicara tentang diriku. Sebelum aku berbicara tentang rencanaku untuk bercerai dengan ibunya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku. Sebuah daun yang masih kehijauan dipegangnya penuh perasaan. Pada permukaannya yang lembut terdapat embun. Ia meneteskan embun itu pada punggung tapak tangannya. Kemudian ia mengambil daun yang lain. Sebuah daun tua yang kekuningan. Pada kasapnya juga terdapat butiran embun. Masih dengan sikap kehati-hatian ia memegangnya. Kemudian ditariknya jemariku, dan diteteskannya embun dari daun tua itu. Ia tersenyum. Begitu kanak.
Bibirku terkunci. Aku tak kuasa berbicara apa. Udara pagi menerpa wajah kami berdua. Langit masih agak gelap. Aku seperti diburu waktu untuk berbicara padanya sebelum pagi benar-benar datang. Ada yang mendesak hingga sesak dadaku. Aku mencengkram rumput yang iba memandang ketakberdayaanku. Haruskah aku berkata, Dion, ayahmu tak lagi mencintai ibumu. Dion, ayahmu tak lagi dapat terikat dalam lembaga pernikahan dengan ibumu. Dion, kau tak akan mengerti. Dion, maafkan ayah. Hingga, "Dion…ayah…" ucapku tercekat."Yah, bila ayah merasa itu yang paling baik, lakukanlah."
Ia berkata dengan mata tanpa kerjab. Dalam hitungan detik aku melihat sisi kanak-kanaknya menghilang berganti dengan kedewasaan, begitu pribadi yang lengkap. Wajahnya yang tabah adalah tamparan pertama, dan cara ia membacaku dengan tepat adalah tamparan kedua. Setelah berkata begitu, ia membuang muka. Tak ia biarkan aku membaca matanya kali ini. Pagi datang secara utuh. Namun aku merasa ada yang hilang, hingga sisi tubuhku tak lagi sempurna. Bagian yang diambil tanpa paksa, namun membuat sesak dada. Ada hal-hal yang kadang tak terlintas dalam pikiran kanak-kanak tentang dunia orang dewasa. Atau terlampau banyak tuntutan yang tak pernah terjangkau oleh alam pikiran kanak mereka? Begitu hidup mungkin sesungguhnya sederhana. Seperti pagi yang terlewat di atas kepala kami berdua. "Novel Sosialis ini, diangkat dari kesinggahan sebuah perjalanan seorg Pramugie di bbrapa Daerah Nusantara, di setiap penitiannya, meninggalkan kebaikan yg melekat di setiap situasi org yg disinggahinya. Idrus, sorg tamatan SD yg brhasil dipekerjakan di tpt ibu kos Pramugi di Madiun. Sebuah Surau di Purwokerto yg berhasil di didirikan bersama masyarakat skitarnya. Dan Lentera kebaikan lainya dikisahkan disini....serta kisah Dion" Cerita Selanjutnya....
Bibirku terkunci. Aku tak kuasa berbicara apa. Udara pagi menerpa wajah kami berdua. Langit masih agak gelap. Aku seperti diburu waktu untuk berbicara padanya sebelum pagi benar-benar datang. Ada yang mendesak hingga sesak dadaku. Aku mencengkram rumput yang iba memandang ketakberdayaanku. Haruskah aku berkata, Dion, ayahmu tak lagi mencintai ibumu. Dion, ayahmu tak lagi dapat terikat dalam lembaga pernikahan dengan ibumu. Dion, kau tak akan mengerti. Dion, maafkan ayah. Hingga, "Dion…ayah…" ucapku tercekat."Yah, bila ayah merasa itu yang paling baik, lakukanlah."
Ia berkata dengan mata tanpa kerjab. Dalam hitungan detik aku melihat sisi kanak-kanaknya menghilang berganti dengan kedewasaan, begitu pribadi yang lengkap. Wajahnya yang tabah adalah tamparan pertama, dan cara ia membacaku dengan tepat adalah tamparan kedua. Setelah berkata begitu, ia membuang muka. Tak ia biarkan aku membaca matanya kali ini. Pagi datang secara utuh. Namun aku merasa ada yang hilang, hingga sisi tubuhku tak lagi sempurna. Bagian yang diambil tanpa paksa, namun membuat sesak dada. Ada hal-hal yang kadang tak terlintas dalam pikiran kanak-kanak tentang dunia orang dewasa. Atau terlampau banyak tuntutan yang tak pernah terjangkau oleh alam pikiran kanak mereka? Begitu hidup mungkin sesungguhnya sederhana. Seperti pagi yang terlewat di atas kepala kami berdua. "Novel Sosialis ini, diangkat dari kesinggahan sebuah perjalanan seorg Pramugie di bbrapa Daerah Nusantara, di setiap penitiannya, meninggalkan kebaikan yg melekat di setiap situasi org yg disinggahinya. Idrus, sorg tamatan SD yg brhasil dipekerjakan di tpt ibu kos Pramugi di Madiun. Sebuah Surau di Purwokerto yg berhasil di didirikan bersama masyarakat skitarnya. Dan Lentera kebaikan lainya dikisahkan disini....serta kisah Dion" Cerita Selanjutnya....
Cuplikan Cerita "Cuplikan Perempuan"
Dengan malas aku beringsut menuju dapur. Menjerang air hingga mendidih nantinya. Aku duduk sambil membayangkan apa yang akan aku tulis untuk feature nanti. Belum lagi aku mendapatkan ide, sebuah suara mengejutkan aku."Sayang, aku berangkat." Aku menyodorkan pipi, berharap ia mencium lebih dari sekedar pipi. Namun dengan ringan ia berkata,"Tak ada ciuman pagi ini, sayang."
Ini pagi kesekian, dan kami tetap berkutat dengan persoalan yang sama. Tentang siapa yang seharusnya menyiapkan kopi dan menggoreng telur mata sapi. Rachel tetap merasa seharusnya akulah yang menyiapkan itu semua, mengingat ia yang harus berangkat kerja terlebih dahulu. Sedang aku yang selalu berangkat lebih siang seharusnya mengerti tentang hal ini."Kemarin aku yang membuat kopi, dan sekarang aku lagi sayang?" tanyaku dengan kata sayang yang aku tekankan."Bukan masalah siapa yang membuat kemarin, atau kemarinnya lagi. Tetapi Arman, demi Tuhan aku harus ke kantor lebih pagi..""Karena klienku kakap kali ini," potongku cepat, karena aku tahu kelanjutan ucapannya."Nadamu sinis, sayang."Kali ini Rachel-lah yang memakai kata sayang dengan penekanan yang begitu kentara. Matanya yang serupa kucing, menatapku dengan garang. Gila, betapa perempuan ini dapat begitu cantik dalam keadaan marah sekalipun.Dengan sebal kulempar koran pagi ke meja makan. Tak kulihat ekspresi wajahnya."Aku sarapan di dekat kantor saja," ucapnya cepat seakan tak memperhatikan sikap kasarku. Dan aku tahu pagi ini tak ada ciuman seperti kemarin.
Malam-malamku adalah dua punggung yang tak saling menyapa. Heran, kami telah berhenti bercinta sepanjang dua minggu ini. Aku tak tahu kemana perginya hasratku. Dan aku tak habis pikir, ke mana gairahnya dengan tarian dan hem putihku yang sering ia gunakan untuk menggodaku. Kami sedingin malam bulan Januari yang menghujan. Tak ada api yang memerahkan ruangan ini hingga membakar seluruh kordennya. Kadang kami berdua terkikik membayangkan bahwa baru saja ada dua ekor naga yang menghembuskan nafas di ruang tidur kami. Begitu panas akan gairah yang baru saja tuntas. Aku hanya bisa melukis hasratku pada punggungnya yang tanpa cela –terkadang aku mencuri lihat ke arahnya-. Punggungnya bagai nyanyian musim semi, daun-daun yang tumbuh pada pucuk-pucuk pohon oak. Begitu dekat, namun bagai panggilan dari belahan dunia yang jauh. Seakan tak terjangkau. Dan punggung itu terus membisu hingga keesokan paginya.
Pagi hari, kami masih saling menyindir siapa yang seharusnya membuat kopi dan telur mata sapi. Hingga suatu hari, akulah yang harus pergi lebih awal. Dan kesempatan ini tak kulepas begitu saja. Sejak semalam aku telah menjelaskan aktivitasku esok paginya. Tentunya dengan penekanan bahwa akulah yang harus pergi lebih awal. Maka ketika aku melihat di meja makan tidak kudapati secangkir kopi, aku memulai percakapan."Kopinya mana sayang, aku buru-buru nih…" "Sebuah Karya Sastra pengisahan Perjuangan dari para perempuan perempuan Indonesia yg di temuinya... Perjuangan pekerjaan, tanggung Jawab, kesetiaan dalam keluarga hal keagungan wanita ada didalam buku ini." cerita selanjutnya....
Ini pagi kesekian, dan kami tetap berkutat dengan persoalan yang sama. Tentang siapa yang seharusnya menyiapkan kopi dan menggoreng telur mata sapi. Rachel tetap merasa seharusnya akulah yang menyiapkan itu semua, mengingat ia yang harus berangkat kerja terlebih dahulu. Sedang aku yang selalu berangkat lebih siang seharusnya mengerti tentang hal ini."Kemarin aku yang membuat kopi, dan sekarang aku lagi sayang?" tanyaku dengan kata sayang yang aku tekankan."Bukan masalah siapa yang membuat kemarin, atau kemarinnya lagi. Tetapi Arman, demi Tuhan aku harus ke kantor lebih pagi..""Karena klienku kakap kali ini," potongku cepat, karena aku tahu kelanjutan ucapannya."Nadamu sinis, sayang."Kali ini Rachel-lah yang memakai kata sayang dengan penekanan yang begitu kentara. Matanya yang serupa kucing, menatapku dengan garang. Gila, betapa perempuan ini dapat begitu cantik dalam keadaan marah sekalipun.Dengan sebal kulempar koran pagi ke meja makan. Tak kulihat ekspresi wajahnya."Aku sarapan di dekat kantor saja," ucapnya cepat seakan tak memperhatikan sikap kasarku. Dan aku tahu pagi ini tak ada ciuman seperti kemarin.
Malam-malamku adalah dua punggung yang tak saling menyapa. Heran, kami telah berhenti bercinta sepanjang dua minggu ini. Aku tak tahu kemana perginya hasratku. Dan aku tak habis pikir, ke mana gairahnya dengan tarian dan hem putihku yang sering ia gunakan untuk menggodaku. Kami sedingin malam bulan Januari yang menghujan. Tak ada api yang memerahkan ruangan ini hingga membakar seluruh kordennya. Kadang kami berdua terkikik membayangkan bahwa baru saja ada dua ekor naga yang menghembuskan nafas di ruang tidur kami. Begitu panas akan gairah yang baru saja tuntas. Aku hanya bisa melukis hasratku pada punggungnya yang tanpa cela –terkadang aku mencuri lihat ke arahnya-. Punggungnya bagai nyanyian musim semi, daun-daun yang tumbuh pada pucuk-pucuk pohon oak. Begitu dekat, namun bagai panggilan dari belahan dunia yang jauh. Seakan tak terjangkau. Dan punggung itu terus membisu hingga keesokan paginya.
Pagi hari, kami masih saling menyindir siapa yang seharusnya membuat kopi dan telur mata sapi. Hingga suatu hari, akulah yang harus pergi lebih awal. Dan kesempatan ini tak kulepas begitu saja. Sejak semalam aku telah menjelaskan aktivitasku esok paginya. Tentunya dengan penekanan bahwa akulah yang harus pergi lebih awal. Maka ketika aku melihat di meja makan tidak kudapati secangkir kopi, aku memulai percakapan."Kopinya mana sayang, aku buru-buru nih…" "Sebuah Karya Sastra pengisahan Perjuangan dari para perempuan perempuan Indonesia yg di temuinya... Perjuangan pekerjaan, tanggung Jawab, kesetiaan dalam keluarga hal keagungan wanita ada didalam buku ini." cerita selanjutnya....
Kutipan Cerita Pelacur No. 26
Hari ini kami janji mau reuni. Sudah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tentunya ada kangen yang menggasak dada, menyuruh bertemu lagi. Aku menunggunya di sebuah kedai dengan lampu hampir padam. Duduk di meja paling pojok sambil membasahi rokok yang terus menerus kumasukkan ke mulutku.
Sambil menunggu, aku coba-coba tulis puisi. Tapi tak pernah jadi. Aku gonta-ganti judul dan berusaha bernegosiasi dengan setiap lembar kenangan yang masih kubuka-buka dalam hayalku. Sesekali kepalaku bergoyang mengikuti alunan swing lembut yang diputar pemilik kedai. Seleranya boleh juga.
Dari jauh, roda kereta api menggesek relnya yang berahi. Apakah kereta itu membawa yang kutunggu? Sudah berapa lama aku menunggunya? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau selamanya? Entah. Aku tak memikirkan soal waktu karena waktu tak pernah memikirkanku. Aku hanya memikirkannya, menunggunya. Aku merancang reuni ini terlebih untuk diriku sendiri. Aku tak pernah begitu mengerti soal 'pertemuan kembali'. Jadi tak salah kalau aku menjajal dengannya. Apakah ini akan berakhir di tempat tidur seperti dulu aku juga tak pernah mau peduli. Yang penting aku bertemu lagi dengannya.
Lalu aku melihat dia, berjalan menuju arahku. Badannya masih tetap ramping dan tegap. Dadaku masih berdesir, seperti dulu. Dia memang selalu begitu, membawa segala ekstase bersamanya bahkan ketika dia berjalan. Dia mencium pipiku, hampir menyentuh bibirku. Kurang ajar! Tapi aku suka. Dia juga tertawa.
Matanya menggerayangiku. Mencabik-cabik rambutku yang sudah termakan siang, kancing kemejaku yang terlepas di bagian dada, dan belahan rok yang mengumbar paha. Aku tampar pipinya lembut. Kamu masih saja jalang. Tapi dia cuma terbahak dan bilang kalau aku masih saja pintar. Aku tersipu, terbodoh-bodoh. Aku tahu maksudnya, dia suka caraku menyembunyikan tubuhku. Aku juga suka caranya memperlihatkan tubuhnya: begitu ditutup-tutupi. Dia pakai jaket yang dikancing sampai leher, celana jeans yang dibelinya bersamaku bertahun lalu dan terlihat lapuk sekarang. Ah, kamu memang bajingan. Kamu juga bajingan, katanya. Kami berdua tertawa.
Sambil menyeruput teh hangat, kami mengumpulkan kembali berkas-berkas ingatan masa lalu. Sepertinya ini biasa dilakukan oleh setiap orang saat reuni. Dan aku bosan. Masa lalunya terlalu menjemukan. Dia pacaran, pacaran, dan pacaran. Pacarmu terlalu banyak, aku pusing menghafal nama-namanya. Setelah itu dia menanyakan masa laluku. Aku tidak pernah pacaran lagi. Aku suka wajahnya yang kebingungan. Dahinya berkerut saat menatapku dan kuakui sangat sexy. Aku tak perlu berteori tentang cinta di hadapannya. Aku cukup mengerlingkan mataku yang sepat kena asap rokok dan kuharap dia segera mengerti atau kami cuma buang-buang waktu saja di sini. Dia tertawa lagi. Aku makin suka melihatnya ceria.... "Cuplikan Cerita dari sisi kehidupan Gelap Kontemporer Wanita. Kisah Kehidupan Pelacur dari segala kerendahannya, dari penghinaan yg terlontar di kalimat-kalimat Pramugie ini, sangat menyakitkan Wanita yg berprofesi sbg Pelacur. Pelacur yg bertitel No.26 ini lah yg mampu memberikan Argumentasi yg hebat dlm kehidupan, yg mampu menggemingkan Pramugie, yg akhirnya tercipta cahaya yg mampu menyilaukan Pelacur No. 26." klik disini untuk baca cerita selanjutnya....
Sambil menunggu, aku coba-coba tulis puisi. Tapi tak pernah jadi. Aku gonta-ganti judul dan berusaha bernegosiasi dengan setiap lembar kenangan yang masih kubuka-buka dalam hayalku. Sesekali kepalaku bergoyang mengikuti alunan swing lembut yang diputar pemilik kedai. Seleranya boleh juga.
Dari jauh, roda kereta api menggesek relnya yang berahi. Apakah kereta itu membawa yang kutunggu? Sudah berapa lama aku menunggunya? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau selamanya? Entah. Aku tak memikirkan soal waktu karena waktu tak pernah memikirkanku. Aku hanya memikirkannya, menunggunya. Aku merancang reuni ini terlebih untuk diriku sendiri. Aku tak pernah begitu mengerti soal 'pertemuan kembali'. Jadi tak salah kalau aku menjajal dengannya. Apakah ini akan berakhir di tempat tidur seperti dulu aku juga tak pernah mau peduli. Yang penting aku bertemu lagi dengannya.
Lalu aku melihat dia, berjalan menuju arahku. Badannya masih tetap ramping dan tegap. Dadaku masih berdesir, seperti dulu. Dia memang selalu begitu, membawa segala ekstase bersamanya bahkan ketika dia berjalan. Dia mencium pipiku, hampir menyentuh bibirku. Kurang ajar! Tapi aku suka. Dia juga tertawa.
Matanya menggerayangiku. Mencabik-cabik rambutku yang sudah termakan siang, kancing kemejaku yang terlepas di bagian dada, dan belahan rok yang mengumbar paha. Aku tampar pipinya lembut. Kamu masih saja jalang. Tapi dia cuma terbahak dan bilang kalau aku masih saja pintar. Aku tersipu, terbodoh-bodoh. Aku tahu maksudnya, dia suka caraku menyembunyikan tubuhku. Aku juga suka caranya memperlihatkan tubuhnya: begitu ditutup-tutupi. Dia pakai jaket yang dikancing sampai leher, celana jeans yang dibelinya bersamaku bertahun lalu dan terlihat lapuk sekarang. Ah, kamu memang bajingan. Kamu juga bajingan, katanya. Kami berdua tertawa.
Sambil menyeruput teh hangat, kami mengumpulkan kembali berkas-berkas ingatan masa lalu. Sepertinya ini biasa dilakukan oleh setiap orang saat reuni. Dan aku bosan. Masa lalunya terlalu menjemukan. Dia pacaran, pacaran, dan pacaran. Pacarmu terlalu banyak, aku pusing menghafal nama-namanya. Setelah itu dia menanyakan masa laluku. Aku tidak pernah pacaran lagi. Aku suka wajahnya yang kebingungan. Dahinya berkerut saat menatapku dan kuakui sangat sexy. Aku tak perlu berteori tentang cinta di hadapannya. Aku cukup mengerlingkan mataku yang sepat kena asap rokok dan kuharap dia segera mengerti atau kami cuma buang-buang waktu saja di sini. Dia tertawa lagi. Aku makin suka melihatnya ceria.... "Cuplikan Cerita dari sisi kehidupan Gelap Kontemporer Wanita. Kisah Kehidupan Pelacur dari segala kerendahannya, dari penghinaan yg terlontar di kalimat-kalimat Pramugie ini, sangat menyakitkan Wanita yg berprofesi sbg Pelacur. Pelacur yg bertitel No.26 ini lah yg mampu memberikan Argumentasi yg hebat dlm kehidupan, yg mampu menggemingkan Pramugie, yg akhirnya tercipta cahaya yg mampu menyilaukan Pelacur No. 26." klik disini untuk baca cerita selanjutnya....
Langganan:
Postingan (Atom)